Web Novel Angkasa yang Ketujuh : Prolog Langit yang Runtuh

 “ Dor ... Dor ... Dor ...”

        Suara langit yang gaduh membangunkan seekor monyet kecil dari pelukan induknya. Monyet itu mencoba untuk menutup telinganya tetapi suara gaduh tersebut membuat rasa penasarannya tumbuh. Ia mencoba menyelinap dari induknya tertidur dan melihat langit gelap yang penuh akan cahaya.

        Monyet kecil tersebut mulai memanjat dahan pohon secara mengendap-ngendap. Ia menyelinap berusaha menghindari beberapa monyet dewasa yang sedang berkeliling. Monyet dewasa tersebut memarahi monyet kecil lainnya yang terbangun dan penasaran apa yang terjadi di atas langit. Monyet tersebut akhirnya berada di puncak tertinggi dan dapat melihat langit gelap secara leluasa.

“ Dor ... Dor ... Dor ...”

        Ia melihat beberapa kilatan cahaya kecil dari banyak sudut langit. Suara gumuh tersebut menyebar di berbagai arah dan terdengar semakin keras seolah-olah sumber suaranya mendekat ke tempat monyet tersebut berada. Dan sebuah suara keras dan kilatan cahaya yang menyilaukan cahaya datang dari langit tersebut.

        Suara keras tersebut membuat monyet kecil itu tidak mendengar apapun, matanya buram putih ketika cahaya itu datang. Monyet kecil itu terdiam dengan tatapan kosong melihat langit yang masih gaduh tersebut. Ia mencoba menutup matanya dan mengembalikan fokusnya.

        Ketika ia membuka matanya secara perlahan langit tersebut tidaklah gelap tetapi terang dengan warna orange. Perlahan pendengarannya pun kembali dan kini suara gaduh tersebut datang dari bawah pohon. Ia mulai sadar bahwa induknya sedang berteriak kencang dan memanggilnya tetapi monyet lain menariknya agar menjauh.

        Monyet kecil itu akhirnya sadar bahwa hutan hijau yang ia tempati kini berubah menjadi lautan api. Pohon-pohon yang kokoh kini terbakar oleh api yang membara dengan besar. Dari atas langit, terlihat bongkahan – bongkahan yang terbakar jatuh ke bawah, memberi hantaman keras dengan suara yang meledak.

“ Dor... dor ... dor.. “

        Suara gaduh dari langit tersebut masih belum berhenti dan semakin banyak bongkahan yang jatuh terbakar ke bawah. Monyet kecil tersebut lemas tidak berdaya melihat keadaan sekitar. Udara yang memanas dan hanya api yang ada disekitarnya membuat ia berkeringat dingin tidak berdaya akan keadaan sekitar yang terjadi.

        Akan tetapi, ada sebuah suara yang membimbing monyet kecil tersebut. Suara itu adalah teriakan dari induknya yang memanggil dari arah kejauhan. Monyet kecil itu kemudian memberanikan diri dan melompat ke arah kobaran api yang semakin membesar. Ia mendarat di atas kayu kemudian melompat dari dahan ke dahan yang lainnya.

        Ia menghindari percikan api, melompat dengan sedikit luka bakar yang ia terima. Pohon-pohon yang mulai tumbang tidak membuat monyet itu takut sedikitpun. Ia berlari menuju suara induknya yang mengarahkan lokasinya. Hingga ia melihat sebuah cela di ujung api dan dengan senang hati ia berteriak memanggil induknya menandakan bahwa ia selamat.

        Ketika berada di ujung, ia berhasil keluar dari kobaran api tetapi ia hanya berdiri di ujung tebing kosong. Monyet kecil tersebut hanya melihat ujung yang kosong dan kemudian ia mencoba berbalik arah tetapi tidak jalan kembali. Semuanya terbakar dan tidak akan kembali.

        Monyet kecil itu menangis menyesali apa yang telah diperbuat, ia berteriak sejatinya anak kecil yang telah kehilangan segalanya. Hingga terdengar sebuah retakan dari tempat monyet itu berpijak dan monyet itu terjatuh ke dalam jurang yang tak terlihat dasarnya. Secara reflek monyet kecil tersebut memegang akar pohon dari tepi jurang tetapi ia tahu bahwa tidak ada rumah sebagai alasan kenapa monyet kecil itu harus tetap bertahan.

“ Ini adalah monyet langka ! “

        Terdengar suara orang yang berteriak di antara gerombolan orang-orang yang berlalu-lalang. Monyet kecil tersebut terbangun melihat bahwa ia sudah berada di kerangka besi yang kotor dan ia dapat melihat mahluk lain yang tidak pernah ia lihat berada dalam kerangka besi yang berbeda.

        Monyet kecil itu mencoba menutup telinganya karena ia sangat membenci dengan keramaian yang ia miliki. Suara yang keras hanya membuat ia mengenang masa suram tersebut dan ia lupa apa yang membuatnya bisa berada dalam kandang besi ini. Tatapan kosong dengan air mata membuat penampilannya tak berdaya.

“ Krek ... krek ... krek...”

        Terdengar suara gembok yang dibuka dari kandang monyet kecil tersebut. Ia melihat sebuah tangan yang akan mengambilnya. Ia mencoba untuk lari ke pojokan sambil berteriak seolah-olah akan melawan. Tangan tersebut dapat dengan mudah menangkap monyet tersebut tanpa bersusah payah.

        Monyet kecil tersebut ketakutan tetapi ia mulai merasakan ada tangan yang menggosok kepalanya. Tangan yang jauh lebih besar dari tangan induknya, monyet itu mulai membuka mata dan melihat seorang bocah manusia yang tersenyum dengan mata yang penuh akan rasa keingintahuan seperti ia dulu.

        “ Akan aku beri nama kau Natan.” Ucap seorang bocah memberi nama kepada monyet kecil tersebut.

Bersambung ….


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi kertas Kehidupan

Filosofi Mentalitas Sepeda Habibie

Tiga Jenis Filosofi Tanda Tanya