Webnovel / Light Novel Si Kilat Biru Chapter 3 : Api di Tepi Pantai

        Pikiran Drio mulai tersadar, ia dapat mendengar suara hempasan ombak keras datang terus menerus. Suara gemuruh angin datang membawa rasa dingin yang menusuk ke seluruh badannya tetapi ada rasa hangat yang ada di dekatnya. Terdengar suara langkah kaki yang menggetarkan tanah.

         Perlahan-lahan Drio membuka matanya perlahan-lahan, ia melihat cahaya kuning dalam pandangan yang begitu redup. Kemudian, ia melihat beberapa ekor ikan yang di bakar di atas api unggun, aromanya menyengat membuatnya cepat sadar. Lalu ada seorang laki-laki yang duduk di samping api tersebut sambil menghangatkan kedua tangannya. Drio melihat kedua tangan dan seluruh tubuhnya telah dipenuhi oleh perban.

“ Wah kamu sudah sadar yah ! ” Ungkap laki-laki itu dengan ramah.

“ Dimana aku ? ” Tanya Drio sambil berusaha untuk bangkit walaupun ia masih merasakan sakit dari seluruh tubuhnya.

“ Kau berada di lorong-lorong dalam dinding laut Batavia ” Jawab laki-laki tersebut.

         Drio mencoba berdiri sambil berpegangan dengan dinding tembok, lalu ia melihat ke luar tembok dari sebuah lubang besar dan melihat lautan hitam yang menghantam dinding tersebut dengan ombak tinggi yang ganas. Di lautan lepas terdapat cahaya kecil menyala dari beberapa kapal yang berlayar terombang-ambing di tengah gelombang laut.

“ Makan ini ! ” ungkap laki-laki tersebut sambil menyodorkan sebuah ikan bakar yang ditusuk dengan kayu.

         Drio yang merasakan nyeri di bagian mulutnya sehingga kehilangan selera untuk makan. Lalu, ia mencoba untuk mencium aroma sedap dari ikan bakar yang masih hangat. Seleranya kembali ditambah rasa lapar sehingga membuatnya langsung menggigit ikan tersebut dengan lahapnya. Air matanya jatuh karena ia tidak pernah merasakan nikmatnya cita rasa dari ikan bakar tersebut.

 “ Haha, Makan yang banyak ! ” Ungkap laki-laki itu sambil tertawa.

         Rasa ikan bakar itu begitu sedap dimana rasa asin manis berpadu menjadi satu dan memanjakan lidah Drio. Rasa kulit yang gurih serta daging lembut yang masih hangat membuat Drio dapat melupakan rasa sakit dan nyeri yang ada dalam tubuhnya. Aromanya yang sedap menambah cita rasa sehingga Drio tidak bisa berhenti untuk makan.

“ Sebelumnya terima kasih karena telah menolongku.” Ungkap Drio sambil makan.

“ Tentu itu bukan masalah besar.” Jawab laki-laki sambil meniup ikan bakar yang akan ia makan.

“ Ngomong-ngomong siapa dirimu !”

“ Namaku Leon dan siapa kamu ?”

“ Aku Drio.”

Leon memiliki kulit ia menggunakan sebuah jubah berwarna coklat, ia memiliki rambut panjang bergelombang hingga ke bahunya. Drio Pun tidak bisa melihat matanya karena ditutupi oleh rambut panjangnya. ia punya karismatik tersendiri yang berasal dari senyum yang lebar dan jenggot tipis di wajahnya.

“ Apa tujuan disini ?” Sambung Drio.

“ Aku mencari sesuatu.”

“ Di tembok yang gagal ini ?”

“ Walaupun tembok ini gagal dan rusak tetapi setidaknya tembok ini melindungi kehidupan di baliknya dari keganasan ombak yang telah kamu tenggok barusan.”

“ Jadi apa yang engkau cari ?”

“ Aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya aku cari. Hahaha ...” Jawab Leon sambil terbahak-bahak layaknya orang gila.

         Mereka melanjutkan obrolan mereka dimana Leon bercerita bahwa dia telah pergi ke banyak tempat hanya untuk mencari kebebasannya saja. Ia bercerita tentang sejarah tembok ini yang telah berusia lebih dari setengah abad oleh pemerintah Kota Batavia hingga sebuah misteri dari lautan tanpa batas. Mereka mengobrol hingga larut malam penuh dengan tawa dan ceria pada waktu itu.

“Aku punya rumah dekat dari sini, kau bisa singgah di tempatku walaupun tempat ini jauh lebih baik.” Tawar Drio sambil berusaha berdiri.

“ Tidak perlu, aku cinta dengan kebebasan.”

“ Baiklah aku harus pergi karena mereka pasti menungguku.”

“ Bawa ini karena aku punya banyak.”  Leon memberikan Drio beberapa ikan bakar yang telah masak.

“ Baik terima kasih, sampai jumpa lagi ! ” Pamit Drio.

“ Ya hati-hati di jalan.” Salam perpisahan dari Leon sambil melambai tangannya.

         Di dalam lorang tembok laut tersebut, Drio berjalan hati-hati karena ia hanya bermodalkan dari cahaya bulan yang lewat dari retakan tembok serta tubuhnya yang masih sakit membuat ia sulit untuk berjalan. Ia menemukan pipa-pipa rusak yang sudah tidak berfungsi. Saat di tengah jalan, ia menemukan bau busuk dari tumpukan mayat anjing yang mati. Ia berpikir bahwa ada orang yang tidak waras membunuh hewan-hewan yang tidak bersalah itu.

         “ Walaupun aku kehilangan ikan bandeng raksasa itu, setidaknya aku mempunyai banyak ikan bandeng bakar yang siap disantap.” Ungkap Drio  mencoba mengabaikan bau busuk dari mayat anjing tersebut.

Setelah berjalan, Drio melihat sebuah rumah kayu yang berdiri di atas permukaan laut, dimana rumah itu yang masih berdiri diantara rumah-rumah yang hancur di sekelilingnya. Rumah itu cukup besar serta memiliki dua lantai dimana tempat inilah tempat tinggal terbaik yang ia miliki sebelum hancur oleh air laut. Drio mencoba menyelinap masuk lewat pintu depan tetapi ibunya sudah menunggu di sana. Ibunya langsung memeluknya dan bertanya dengan penuh rasa khawatir :

“ Dari mana kamu ? Kenapa pulang selarut ini ! kenapa badanmu penuh dengan perban ?”

Drio bercerita semuanya tentang apa yang terjadi di hari ini. Mulai dari mendapatkan ikan bandeng jumbo hingga bertemu dengan Leon yang memberinya ikan bakar yang lezat. Ibu Drio dengan sabar mendengarkan penjelasannya bersama cahaya redup sebuah lilin yang menemani mereka.

“ Dimana si cengeng itu ?” Tanya Drio

“ Dia sedang tidur karena dia kelelahan menunggumu, dia akan marah ketika bangun tetapi ibu yakin dia akan tersenyum bahagia dari oleh-oleh yang kamu bawa.” Jawab Ibunya.

         Mereka terus berbicara hingga lilin padam sambil menikmati ikan bakar sebagai makan malam yang harmonis antara Ibu dan putranya. Setelah itu, terdengar sebuah langkah sepatu boot melangkah dengan keras masuk ke dalam rumah. Ayah Drio datang larut malam setelah bekerja keras. Ia langsung menampar Drio dengan keras ketika melihatnya makan ikan dan badannya penuh dengan perban.

“ Apa yang engkau lakukan ? Tanya Ibu yang terkejut melihat ayah.

“ Apa salahku ?” Teriak Drio.

“ Aku tidak pernah mengajarkanmu untuk mencuri ataupun berkelahi !” Jawab Ayah dengan rasa marah dan nada yang tinggi.

“ Tenang ayah, apa yang terjadi ? ” Tanya Ibu berusaha menenangkan ayah.

“ Apakah engkau tidak dengar dari orang-orang ?

“ Bukankah sudah terlihat bahwa dia telah mencuri dan berkelahi dengan orang-orang !”

“ Aku tidak melakukannya !” Jawab Drio

“ Benar, dia tidak melakukannya. Dia sudah bercerita semuanya !” Sambung Ibunya mendukung Drio.

“ Ini sudah terlambat dasar pembawa kesialan, mulai hari kau bukan anakku dan jangan injakkan kakimu disini lagi cepat pergi ! ” Perintah ayah dengan keras.

         Seketika ruangan menjadi hening, suara detak jarum jam terdengar dengan jelas, Lonceng jam berbunyi menunjukkan pukul tengah malam. Ibu syok ketika mendengar kata-kata itu keluar dari ayah, ia tidak percaya pada apa yang barusan terjadi. Mendengar hal itu Drio merasa kaget karena walaupun mereka sudah sering bertengkar akhir-akhir ini tetapi kata-kata itu adalah yang pertama kali ia dengar dari mulut ayahnya.

 “Aku memang bukan anakmu dan aku benci untuk menjadi orang yang lemah.” Ungkap Drio kemudian berjalan keluar rumah.

Bersambung ...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi kertas Kehidupan

Filosofi Mentalitas Sepeda Habibie

Tiga Jenis Filosofi Tanda Tanya