Mengungkap Keindahan Dunia Quite Luxury Brand di Indonesia: Eksklusifitas yang Sederhana
.jpg)
Drio berjalan di antara sisa-sisa bangunan yang telah menjadi hitam dan abu. Dia mencoba mengangkat tumpukan-tumpukan yang masih bertahan di sana. Drio menemukan sebuah buku berwarna hijau tua yang masih utuh walaupun sampul halamannya terlihat noda hitam yang menempel. Buku itu tertulis “ Dongeng Ratu Bijak ” dan sebuah gambar seorang ratu tanpa mahkota yang berdiri di atas sebuah tebing sambil melihat tiga gunung di depannya.
Drio mengingat kembali sebuah malam dimana
mereka berempat sedang makan malam bersama. Waktu itu ia sedang berusia 5 tahun,
Ibu Drio terlihat begitu anggun saat memasak ikan goreng di atas wajan. Drio kecil
memerhatikan Ibunya yang memiliki kulit coklat cerah dan rambut panjang sedang
memotong sayur menjadi balok-balok kecil
Saat itu adiknya baru berusia 1
tahun, duduk di atas kursi bayi sambil memainkan sebuah boneka kelinci putih
yang kehilangan setengah bagian telinga kanannya. Ia mencoba mengayunkan lengan
kelinci tersebut, yang miliki bekas jahitan sambil berusaha memukul kepala
kelinci itu dengan sendok plastik.
“
Ayah pulang ! ” Sambut ayah ketika datang ke rumah.
Ayahnya langsung menghampiri adik Drio
dan mencium pipinya sambil menunjukkan ekspresi lucu hingga membuatnya tertawa
ceria. Setelah itu, ia mengusap rambut Drio sambil menjahilinya dengan menggelitik
badannya sambil menghampiri Ibu dan membawa sekantong makanan yang akan di
masak.
Ayah Drio datang setelah bekerja di
sebuah tambak ikan di dekat sana. Ia datang dengan baju kotor penuh dengan noda
lumpur dan bau amis dari sekujur badannya. Langkahnya di ruangan tersebut terdengar
jelas karena ia mengenakan sepasang sepatu boot yang berat. Ia mempunyai rambut
pendek lurus yang berdiri dan memiliki kulit coklat cerah tapi lebih gelap dari
Ibu. Ia memiliki tinggi 5,7 kaki dengan
postur badan yang tegap ke dua tangan yang kekar.
“
Makanan sudah siap ! ” Ungkap Ibu sambil membawa piring-piring dan sebuah
mangkok ke atas meja.
“
Hore waktunya makan ! ” Sorak Drio dengan semangat.
“
Aye ma.. aw.... ikan ... !” Sambung adik
Drio berusaha untuk berbicara.
Drio langsung menyantap sepiring
nasi hangat dengan lauk ikan goreng serta sup sayur merah. Ia langsung makan
dengan tangannya dan langsung merasakan rasa asin yang berlebihan di lidahnya
sehingga membuat ia ingin memuntahkannya. Drio pun melihat sekitar dengan
makanan yang penuh di mulutnya dan memerhatikan ayah yang makan dengan lahapnya
walaupunya wajahnya terlihat lelah karena pekerjaannya. Drio pun langsung menelan
makanannya agar tidak merasakan rasa asin.
“
Drio ! Makan di kunyah dulu ! ” Perintah Ibu yang melihat Drio tidak mengunyah
makanannya.
Waktu itu ibunya tidak langsung
makan sehingga ia tidak tahu bahwa masakannya terlalu asin. Ia sedang menyuapi
adik perempuan Drio untuk makan bubur sambil mengajarkannya cara mengunyah makanan
dengan berekspresi muka jelek dan mulut yang mengunyah. Akan tetapi, hal yang
menjadi pertanyaan adalah kenapa ayah tidak berkomentar sedikit pun walaupun masakan
ibu tidak enak.
“
Ayah bolehkah aku meminta bagianmu ! ” Ungkap Drio
“
Tentu saja ! Ambil sesukamu ! ” Jawab ayah sambil menggeser piringnya ke dekat
Drio.
“
Drio habisi dulu bagianmu ! ” Ungkap Ibu melarang Drio.
“
Biarkan saja ! ” Bela ayah mendukung Drio.
Drio mengambil sedikit ikan ayah dan
memakannya langsung. Ia juga merasakan rasa asin yang berlebihan juga dan
ternyata rasanya juga sama tidak enak berlawanan dengan ekspresi yang ditunjukkan
oleh ayahnya. Mungkin ia terlalu lelah dari pekerjaannya sehingga lidahnya
sudah mati rasa. Melihat ekspresi Drio yang mengerut, ayah Drio berkata :
“ Ibumu lelah karena harus bekerja dari
pagi hingga sore, ia adalah perempuan hebat karena mau menyempatkan diri untuk
memasak.”
“ Maksud ayah ? ” Tanya Drio yang
tidak paham.
“ Bukankah kau belum makan dari pagi
? Jadi makan habis makananmu karena ada hari esok yang menanti.” Jawab ayah.
Drio pun langsung melanjutkan
makanannya. Ia mencoba menahan rasa asin dari ikan tersebut sambil mengunyah perlahan-lahan.
Ia merasakan bahwa hal tersebut lama-lama tidak buruk juga. Justru semakin lama
ia mengunyah, rasa asin itu perlahan-lahan berubah menjadi rasa manis. Ia pun
makan dengan lahapnya bersama dengan keluarga kecilnya.
Drio masih mengingat dengan jelas kegiatan
rutin apa yang dilakukannya setelah makan malam tersebut. Dimana, ia dan
adikanya akan berbaring di sebuah kasur keras dan ibunya akan duduk di samping
mereka untuk membaca sebuah buku dongeng. Mereka di temani oleh sebuah lampu
kecil bercahaya redup.
Dongeng itu memberikan semangat dan rasa
ingin tahu atas luasnya dunia yang tidak terduga – duga menghidupkan ruang imajinasi
dimana Drio dapat melakukan apa saya yang ia impikan. Mata Drio menatap penuh
dengan rasa penasaran saat Ibunya membacakan dongeng tersebut. Ia dapat
mengingat dengan jelas dari setiap momen yang terjadi dalam perjalanan Ratu Adil
ketika melewati gelombang laut dan menjelajah bumi yang terdalam.
“
Apakah aku bisa bertemu dengan Ratu Adil ?” Tanya Drio kepada Ibunya
“
Tentu, jika engkau bertemu dengannya. Hal apa yang ingin engkau minta kepadanya
?” Tanya Ibu sambil mengusap dahi Drio dengan telapak tangan kanan kasarnya.
“
Aku ingin meminta makanan yang banyak agar kita tidak kelaparan lagi !” Ungkap
Drio dengan wajah polos dan penuh keceriaan.
Ibunya yang mendengar hal itu, cukup
terkejut bahwa Drio yang masih berusia 5 tahun sudah bisa mengerti dengan situasi
kondisi keluarganya. Ibunya tersenyum kecil dan mencium dahi Drio mengucapkan selamat
tidur kepada Drio dan adiknya yang sudah tertidur lebih dahulu. Ia melangkah
mundur sambil melihat kegemasan Drio yang langsung bersembunyi dalam selimut
saat lampu ruangan dimatikan.
Kini Drio hanya bisa memandang mereka
di atas batu nisan yang ia buat dari sisa bangunan yang masih selamat dari
kobaran api. Ia duduk besilah sambil menatap tiga makam yang berdiri di pinggir
pantai membelakangi tembok laut sebagai pemandangannya. Setekah merenung beberapa
lama, ia berdiri dan menaruh sebuah buku dongeng yang masih selamat di makam
tersebut. Ia menutup mata dan menundukkan
sedikit kepalanya ke bawah sambil berdoa kepada Ibu Pertiwi agar kehidupan
selanjutnya mereka dapat hidup lebih baik.
“
Semoga Ibu Pertiwi mengantarkan kalian pada bumi yang di janjikan.” Ucap Drio dalam
kalimat terakhir doanya.
Drio kemudian berjalan meninggalkan
makam tersebut. Ia mengambil sebuah tas coklat dan mengenakan sebuah jubah berwarna
merah yang menutup kepalanya. Ia berjalan dan menatap langit mendung, yang
datang dengan hembusan angin dingin bergerak dari arah lautan. Ia mengepal
tangannya yang penuh dengan perban erat-erat sambil merasakan kekecewaan dalam
lubuk hatinya.
Bersambung ...
Komentar
Posting Komentar