Webnovel atau Light Novel Si Kilat Biru Chapter 7 : Sebuah Awal Setelah Akhir Cerita

 Drio berjalan di antara sisa-sisa bangunan yang telah menjadi hitam dan abu. Dia mencoba mengangkat tumpukan-tumpukan yang masih bertahan di sana. Drio menemukan sebuah buku berwarna hijau tua yang masih utuh walaupun sampul halamannya terlihat noda hitam yang menempel. Buku itu tertulis “ Dongeng Ratu Bijak ” dan sebuah gambar seorang ratu tanpa mahkota yang berdiri di atas sebuah tebing sambil melihat tiga gunung di depannya.

            Drio mengingat kembali sebuah malam dimana mereka berempat sedang makan malam bersama. Waktu itu ia sedang berusia 5 tahun, Ibu Drio terlihat begitu anggun saat memasak ikan goreng di atas wajan. Drio kecil memerhatikan Ibunya yang memiliki kulit coklat cerah dan rambut panjang sedang memotong sayur menjadi balok-balok kecil

            Saat itu adiknya baru berusia 1 tahun, duduk di atas kursi bayi sambil memainkan sebuah boneka kelinci putih yang kehilangan setengah bagian telinga kanannya. Ia mencoba mengayunkan lengan kelinci tersebut, yang miliki bekas jahitan sambil berusaha memukul kepala kelinci itu dengan sendok plastik.

“ Ayah pulang ! ” Sambut ayah ketika datang ke rumah.

            Ayahnya langsung menghampiri adik Drio dan mencium pipinya sambil menunjukkan ekspresi lucu hingga membuatnya tertawa ceria. Setelah itu, ia mengusap rambut Drio sambil menjahilinya dengan menggelitik badannya sambil menghampiri Ibu dan membawa sekantong makanan yang akan di masak.

            Ayah Drio datang setelah bekerja di sebuah tambak ikan di dekat sana. Ia datang dengan baju kotor penuh dengan noda lumpur dan bau amis dari sekujur badannya. Langkahnya di ruangan tersebut terdengar jelas karena ia mengenakan sepasang sepatu boot yang berat. Ia mempunyai rambut pendek lurus yang berdiri dan memiliki kulit coklat cerah tapi lebih gelap dari Ibu. Ia memiliki tinggi  5,7 kaki dengan postur badan yang tegap ke dua tangan yang kekar.

“ Makanan sudah siap ! ” Ungkap Ibu sambil membawa piring-piring dan sebuah mangkok ke atas meja.

“ Hore waktunya makan ! ” Sorak Drio dengan semangat.

“ Aye ma.. aw.... ikan ... !”  Sambung adik Drio berusaha untuk berbicara.

            Drio langsung menyantap sepiring nasi hangat dengan lauk ikan goreng serta sup sayur merah. Ia langsung makan dengan tangannya dan langsung merasakan rasa asin yang berlebihan di lidahnya sehingga membuat ia ingin memuntahkannya. Drio pun melihat sekitar dengan makanan yang penuh di mulutnya dan memerhatikan ayah yang makan dengan lahapnya walaupunya wajahnya terlihat lelah karena pekerjaannya. Drio pun langsung menelan makanannya agar tidak merasakan rasa asin.

“ Drio ! Makan di kunyah dulu ! ” Perintah Ibu yang melihat Drio tidak mengunyah makanannya.

            Waktu itu ibunya tidak langsung makan sehingga ia tidak tahu bahwa masakannya terlalu asin. Ia sedang menyuapi adik perempuan Drio untuk makan bubur sambil mengajarkannya cara mengunyah makanan dengan berekspresi muka jelek dan mulut yang mengunyah. Akan tetapi, hal yang menjadi pertanyaan adalah kenapa ayah tidak berkomentar sedikit pun walaupun masakan ibu tidak enak.

“ Ayah bolehkah aku meminta bagianmu ! ” Ungkap Drio

“ Tentu saja ! Ambil sesukamu ! ” Jawab ayah sambil menggeser piringnya ke dekat Drio.

“ Drio habisi dulu bagianmu ! ” Ungkap Ibu melarang Drio.

“ Biarkan saja ! ” Bela ayah mendukung Drio.

            Drio mengambil sedikit ikan ayah dan memakannya langsung. Ia juga merasakan rasa asin yang berlebihan juga dan ternyata rasanya juga sama tidak enak berlawanan dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh ayahnya. Mungkin ia terlalu lelah dari pekerjaannya sehingga lidahnya sudah mati rasa. Melihat ekspresi Drio yang mengerut, ayah Drio berkata :

            “ Ibumu lelah karena harus bekerja dari pagi hingga sore, ia adalah perempuan hebat karena mau menyempatkan diri untuk memasak.”

            “ Maksud ayah ? ” Tanya Drio yang tidak paham.

            “ Bukankah kau belum makan dari pagi ? Jadi makan habis makananmu karena ada hari esok yang menanti.” Jawab ayah.

            Drio pun langsung melanjutkan makanannya. Ia mencoba menahan rasa asin dari ikan tersebut sambil mengunyah perlahan-lahan. Ia merasakan bahwa hal tersebut lama-lama tidak buruk juga. Justru semakin lama ia mengunyah, rasa asin itu perlahan-lahan berubah menjadi rasa manis. Ia pun makan dengan lahapnya bersama dengan keluarga kecilnya.

Drio masih mengingat dengan jelas kegiatan rutin apa yang dilakukannya setelah makan malam tersebut. Dimana, ia dan adikanya akan berbaring di sebuah kasur keras dan ibunya akan duduk di samping mereka untuk membaca sebuah buku dongeng. Mereka di temani oleh sebuah lampu kecil bercahaya redup.

Dongeng itu memberikan semangat dan rasa ingin tahu atas luasnya dunia yang tidak terduga – duga menghidupkan ruang imajinasi dimana Drio dapat melakukan apa saya yang ia impikan. Mata Drio menatap penuh dengan rasa penasaran saat Ibunya membacakan dongeng tersebut. Ia dapat mengingat dengan jelas dari setiap momen yang terjadi dalam perjalanan Ratu Adil ketika melewati gelombang laut dan menjelajah bumi yang terdalam.

“ Apakah aku bisa bertemu dengan Ratu Adil ?” Tanya Drio kepada Ibunya

“ Tentu, jika engkau bertemu dengannya. Hal apa yang ingin engkau minta kepadanya ?” Tanya Ibu sambil mengusap dahi Drio dengan telapak tangan kanan kasarnya.

“ Aku ingin meminta makanan yang banyak agar kita tidak kelaparan lagi !” Ungkap Drio dengan wajah polos dan penuh keceriaan.

           Ibunya yang mendengar hal itu, cukup terkejut bahwa Drio yang masih berusia 5 tahun sudah bisa mengerti dengan situasi kondisi keluarganya. Ibunya tersenyum kecil dan mencium dahi Drio mengucapkan selamat tidur kepada Drio dan adiknya yang sudah tertidur lebih dahulu. Ia melangkah mundur sambil melihat kegemasan Drio yang langsung bersembunyi dalam selimut saat lampu ruangan dimatikan.

           Kini Drio hanya bisa memandang mereka di atas batu nisan yang ia buat dari sisa bangunan yang masih selamat dari kobaran api. Ia duduk besilah sambil menatap tiga makam yang berdiri di pinggir pantai membelakangi tembok laut sebagai pemandangannya. Setekah merenung beberapa lama, ia berdiri dan menaruh sebuah buku dongeng yang masih selamat di makam tersebut.  Ia menutup mata dan menundukkan sedikit kepalanya ke bawah sambil berdoa kepada Ibu Pertiwi agar kehidupan selanjutnya mereka dapat hidup lebih baik.

“ Semoga Ibu Pertiwi mengantarkan kalian pada bumi yang di janjikan.” Ucap Drio dalam kalimat terakhir doanya.

           Drio kemudian berjalan meninggalkan makam tersebut. Ia mengambil sebuah tas coklat dan mengenakan sebuah jubah berwarna merah yang menutup kepalanya. Ia berjalan dan menatap langit mendung, yang datang dengan hembusan angin dingin bergerak dari arah lautan. Ia mengepal tangannya yang penuh dengan perban erat-erat sambil merasakan kekecewaan dalam lubuk hatinya.

Bersambung  ... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi kertas Kehidupan

Filosofi Mentalitas Sepeda Habibie

Tiga Jenis Filosofi Tanda Tanya